Menghabiskan sisa umur yang tak lagi muda bukan gampang. Meski seluk beluk kehidupan dengan berbagai macam cobaannya telah banyak dilalui. Tapi derasnya hujan kadang tak sanggup tubuh hadapi. Sejak ia hidup sendiri, suasana hatinya lebih sering kurang bersemangat. Kastari lebih gampang meriang jika musim hujan. Mendung yang tak kunjung pergi seharian menambah kelam hari-harinya. Air yang berguguran ke bumi itu menghilangkan dahaga burung-burung, semut, ular, membasahi insang ikan-ikan yang kerontang dikubangan lumpur, menumbuhkan padi di sawah dan sayur mayur diladang yang telah lama mengering. Tapi sebaliknya, bagi kastari hujan adalah hari ia libur bekerja. Menunggunya reda seorang diri. Hatinya merana dalam kebisingan. Dentang ribuan tetes hujan menghantam bumi, serta ribut suara batang, ranting, dan daun, seperti perang diobrak-abrik hempasan angin. Banyak duan dan ranting berguguran diatas tanah yang tergenang. Tak jarang batang tumbang tak berdaya, petir tak segan menyambar, silaunya isyarat perang besar segera datang, menggelegar suara berkecamuk kemudian.
Sore itu, mendung.
Tapi untungnya ia telah selesai dengan harinya. Pekerjaan memburuh sawah dan
ladang cukup hingga sore menjelang. Lalu ia hanya akan menunggu matahari
tengelam, menunggu gelap dan sunyi sepi menyelimuti dirinya. Duduk diatas dipan
peninggalan sedikit mengobati rindu pada
istrinya. Matanya yang rabun memandangi langit dari balik jendela jauh
tak terhingga. Mencoba menemukan sosok seorang wanita yang dulu sering duduk
menemaninya disaat mendung seperti ini. Namun hanya ada sriti berseliweran
berselimut awan. Hanya mampu terbayang dibenaknya sosok yang ia cari.
Dalam lamunannya,
Kastari berimajinasi tentang kehidupan yang jauh lebih baik. Tubuhnya muda
kembali, sehat dan bugar. Mampu bekerja siang malam tanpa letih. Bisa bersepeda
berkilo-kilometer jauhnya hingga sampai dikota yang entah apa namanya, ia
menuju pasar membeli panci dan periuk bermerek, lalu ia akan pulang kerumah dan
memberikannya sebagai hadiah kejutan. Tak sabar melihat senyum sumringah
diwajah istrinya ketika menerima kotak berlapis kertas kado bergambar
bunga-bunga mawar itu. Ia terus mengayuh sekuat mungkin agar sepedanya melaju
cepat. Entah kenapa semakin kuat kakinya mendorong kayuhan, kian lama kian
berat. Sepeda itu bergerak melambat, hampir berjalan ditempat. Tanpa ia sadari
mendung diatas kepala menumpahkan isinya. Mengguyur dirinya ditengah jalan
seorang diri.
Ia membuka mata
dan melihat sekelilingnya telah gelap gulita. Kastari terbangun dari mimpi dan
lamunanya. Ternyata hujan. Dan hanya menyisakan rintik-rintik gerimis. Ia
melihat kerlipan cahaya didepannya. Ia menyadari itu lampu-lampu rumah tetangga
yang agak jauh jaraknya. Ia sedikit linglung, namun tak lama ia paham bahwa
hari telah berganti malam. Jendela rumah masih terbuka, memberikan jalan cahaya
lampu, bintang, kunang-kunang, serta udara dingin masuk.
Tangannya
mengerayapi meja disampingnya, meraih lilin dan korek api. Api redup lilin
sedikit menerangi ruang tengah. Didinding benda berdetak samar terlihat. Jarum
pendek menunjuk angka 4. Lalu Kastari bergegas bangun dari duduknya. Sambil
bersiap untuk subuh dan pekerjaan buruhnya, ia hanya berharap gerimis segera
reda tak bersisa. Dengan begitu iya dapat bekerja seperti kemarin dan hari-hari
sebelumnya.