Sesama pedagang asongan di kawasan Stasiun Depok Baru, di antaranya Ramlan dan Endang. Mereka tidak pernah saling cekcok perihal berlapak, malah mereka telah akur dari awal menggeluti pekerjaan itu. Dari pagi hingga malam menjelang keduanya sering terlihat bersebelahan. Mereka hanya dua orang di antara sekian banyak orang yang nasibnya sama; berjualan jajan dan keperluan kecil-kecilan orang di jalan, lampu merah demi lampu merah, trotoar demi trotoar, hanya untuk sesuap nasi keluarga dan dirinya di esok hari. Siang ini awan berlarian entah ke mata angin mana, langit begitu bersih sekaligus begitu sesak, bersih dari awan, sesak oleh polusi. Atmosfer perkotaan yang identik dengan asap kendaraan dibalut terik panasnya matahari menyengat manusia-manusia kecil. Asap dan debu jalan berterbangan, menghinggapi kulit, mengotori paru-paru, adalah resiko bagi pengguna jalan tanpa roda, para pejalan kaki, para pengasong, pengamen, dan pengemis.
Ramlan beranjak dari lapaknya, beberapa saat ia berjalan di atas trotoar dari stasiun,
"Mau ke mana Lan, Pulang?" sahut Endang yang bersila selangkah darinya.
"Iya," jawab Ramlan pendek.
"Masih siang kok, pulang?" tanya Endang penasaran, padahal kurang lebih sudah begitu kebiasaan mereka, Ramlan yang memilih beranjak lebih dahulu.
"Sampai malam pun kamu di sini tidak akan ada yang mau beli, Ndang. Lebih baik kamu menemaniku pulang." Begitu pesimisnya Ramlan, entah nasehat macam apa itu. Endang yang sedang duduk di trotoar jalan Arif Rahmat Hakim itu pun termenung sejenak. Ramlan tak acuh lewat di depannya, mimik kecewa itu dibawanya dengan langkah gopoh. Endang kemudian bangkit menggendong dagangannya, berjalan cepat di atas sandal jepitnya menyusul Ramlan.
"Tunggu, Lan!" Endang mempercepat langkahnya hampir berlari. Di perempatan jalan langkah mereka terhenti oleh lampu yang masih menyala hijau untuk kendaraan. Beberapa mobil mulai bergerak, sepeda motor melesat cepat dari area pemberhentian. Klakson beberapa kali terdengar, semua kendaraan mengejar waktu.
"Lihat, jalanan semakin sepi, setelah pemberhentian kereta terakhir stasiun pasti segera tutup." ucap Ramlan letih.
"Kamu ngga coba ke tempat lain dulu Lan sebelum pulang?" usul Endang yang masih bersemangat, walau pakaiannya telah kalah perang, baju kaos yang tidak berlubang namun cerah birunya pudar setiap hari harus meresap keringat yang membanjir. Lap seadanya dari sisa potongan kain terbelit dileher dan topi bundar dari pasar lima ribuan mereka tawar limabelas ribu. Miris.
"Percuma, selain itu Istriku nelpon, katanya sekarang warga dilarang berkeliaran. Aku disuruh pulang." ujar Ramlan.
"Edan! Mati kelaparan kita, apa tak ada sembako untuk kita, Lan?" ujar Endang yang rautnya berubah khawatir
"Tetangga sudah dapat, Ndang. Hanya kita yang tak dianggap ada di bumi pertiwi ini sekarang." Wajah di pinggir jalan itu kecewa, dongkol tak mampu mereka ungkapkan sebersit katapun apalagi untuk berbuat. Ada pembelaan yang tertikam kondisi dan keberanian.
"Ke pasar, Lan. Pasti ramai, mereka tak mungkin nurut anjuran. Orang akan mati seperti kita jika tak ke pasar." usul Endang tak habis pikir.
"Orang-orang di sana adalah orang-orang keras kepala, Ndang. Aku bukan golongan mereka, Kamu tidak liat telivisi ya? Kematian sudah tinggi, mereka tetap saja tak mau taat. Hukuman seberat apapun juga tak akan mempan diterapkan untuk mereka." jawab Ramlan sok tahu.
"Kamu benar, Lan. Justru itu kita harus tetap ke pasar sekarang. Jika kita nanti dihukum, mereka juga harus dihukum. Kita punya alasan, bukan?" jawab Endang sekenanya. Sengklek.
"Kamu ngga mikir, Ndang? Apa ada orang yang mau mendengar alasan seperti itu dari mulutmu? Nafasmu terlalu busuk, hingga saat kamu tertangkap pertama, sebelum alasan itu keluar darimu mereka telah lebih dulu hilang dari pandangan, bersembunyi. Tak ada yang mau disalahkan, masing-masing cari aman. Jika kamu masih berkeras, cobalah saja menyebrang saat lampu berubah hijau, nasibmu tidak akan berbeda dengan mereka nanti. Sekarang kita berada di tengah kompetisi, urusanmu bukan urusan mereka, masing-masing melindungi diri mereka sendiri. Pun jika kamu tiba-tiba sekarat di jalan, mereka tak akan sudi mendekat. Engkau hanya akan mati tersiksa sendirian. Bahkan kulitmu nanti tak akan disentuh tangan, jasadmu dibungkus plastik tak disiram mandikan oleh sanak kerabat, dikubur dengan peti entah di mana. Sekarang jalan satu-satunya hidup bagi keluarga kita hanyalah berdoa, Ndang." Suara Ramlan seperti dikeluarkan dari perut, tertekan dan dimuntahkan. Mimik frustasi Ramlan telah mengecewakan optimisme Endang, firasat besar akan remuknya tulang-tulang punggung mereka menjadi-jadi, merasuk sampai keurat-urat nadi, laju darah terasa meronta, menerjang muncrat ingin keluar minggat dari tubuh.
Semesta menelan ludahnya mendengar dan melihat bagaimana orang-orang itu hidup, wajah mereka tersapu dari jalanan bersama sampah dan debu, masuk pembuangan, juga terbang dan hilang. Lampu untuk kendaraan telah merah, kanvas rem beberapa kendaraan berdecit, hitungan mundur berwarna merah dimulai dari 50, waktu yang cukup bagi mereka untuk menyebrang namun tidak untuk melewati masa sulit. Udara masih panas dan terik masih menyengat, bisa saja daging mereka sudah matang saat ini.
-------------------------------------
Oleh Eryn