Cuaca masih hujan rintik, tak sampai basah kuyup jika aku langsung turun dari mobil dan mencari bus lagi. Sudah sejam lebih hujan turun, tapi tak ada tanda mau berhenti. Tuhan memang pemberi dan tempat meminta. Ia memberi kapan saja Dia mau, dan hambanya meminta semaunya. Dari dalam mobil aku memandang jauh ketempat tujuan, ada rasa khawatir aku tak sampai rumah ketika melihat mendung tak kunjung hilang.
Diperempatan jalan, mobil yang sedang aku tumpangi berhenti. 3 bus didepan mata membuatku lega. Supir ojek memang harus lebih tau medan jalan yang dilaluinya. Salah langkah malah bisa keluar ongkos pulang. Ia tau tujuanku dan tau cara tercepat sampai tujuan. Aku berfikir jauh tentang itu, tapi ada yang membuatku merasa takdir memang sesuatu yang telah ditentukan masa dan tempatnya. Dipintu depan pintu bus yang terparkir, aku melihat seseorang. Aku tak mungkin salah orang, dia kernek bus yang sama dibus tadi pagi. Sekarang jadi kernek bus yang akan aku tumpangi untuk pulang. Aku angkat kaki dari aspal jalan dan masuk lewat pintu balakang. Ternyata, seorang yang baru saja aku hubungi lewat pesan singkat, juga tak senggaja dan tak direncana malah ada dibus yang sama, tepat didepan mata aku berdiri. Ia juga mahasiswa difakultas yang sama denganku, namun berbeda prodi. Aku ambil tempat duduk disampingnya.
Sore itu pikiranku memang dihiasi dengan kisah orang-orang dewasa. Melihat mereka bebas berekspresi membuatku bertanya-tanya kapan aku bisa menjadi dewasa. Tak salah mereka mau berbuat begini dan begitu. Tapi seharusnya, aku sebagai penumpang diberikan pelayanan terbaik, malah sebaliknya kakiku ditindihnya dengan badan. Ia bersender didekat pintu seolah tak merasakan keberadaan manusia lain dibelakannya. Aku sempat mengadu batin, tapi tak mungkin berbalas budi. Aku merenunggi kerasnya hidup jika memang harus berakhir cepat pada bapak yang baju dibadanya lembab menindih dengkul kakiku. Bagaimana keluarganya dinafkahi dari pekerjaan keras dan penuh perjuangan seperti ini. Entahlah aku hanya ingin semua orang dewasa bisa berkisah pada anak cucunya.
Sedikit bincangku diperjalanan. Tubuhku agak terasa lesu. Energi seharian dikuras untuk berpikir semu. Bayangan malam nampak dari jendela. Lampu-lampu gemerlap disudut pintu, teras rumah, dan ditiang lampu jalan. Seseorang memakai topi merah membawa kantong plastik hitam tak kebagian tempat duduk yang nyaman. Terpaksa ia berikan tempat duduknya kepada wanita yang tak ia kenal. Sebenarnya ada kursi plastik yang biasanya disediakan jikalau bus kelebihan muatan penumpang. Tapi ia lebih memilih berdiri. Dari keriput wajahnya, kumis tipis, gaya bicara santai, penampilan semi moderen dengan celana Jeans dan baju kaos hitam ia berumur tak sampai angka 40.
Satu-satunya orang yang aku heran melihatnya, berdiri sedangkan ada kursi dibawah pantatnya. Dan ia juga sempat menolak membayar ongkos sesuai tarif pasaran bus ini. Roda yang baru mengelinding dijalan mengoyang badan seisi penumpang dan barang bawaan didalam bus. Aku bayar 10 ribu, lalu kernek itu meminta kepada yang lain. Kakiku akhirnya terbebas beban punggung basah. Teman disampingku sedikit bercerita kisahnya hari ini. Ia ingin bersalam sapa teman masa SMA yang kebetulan mampir kekota menjenguk keluarga dirumah sakit. Jarak memang pemberi semangat ingin bersua ke jiwa yang pernah bersama. Aku hanya bersikap selolah paham betul dan memaknai apa yang ia sampaikan. Setidaknya agar ia tidak merasa diabaikan dan senang berbagi cerita.
Awalnya bapak itu membayar setengah harga, tapi kernek itu memaksa membayar penuh. Ia seperti tak mau beradu suara, lebih memilih diam dan setuju. Padahal mungkin bapak itu tak mau membayar karena alasan lain. Padahal ia juga tak mendapak kursi yang layak dan hanya berdiri. Ia nampak baik-baik saja, padahal mungkin sedang kecewa. Tak ada yang benar-benar dapat memperkirakan sesuatu dengan tepat memang. Kernek tak tau menau soal isi hati penumpang bertopi yang sedang mencengkram erat sandaran kursi agar tetap seimbang. Aku masih tetap ragu kenapa ia tidak duduk, padahal dibelakannya ada kursi plastik bukan sofa. Makin dalam aku pikirkan malah tak menemukan jawaban. Setengah jam berlalu. Perkiraanku sampai tujuan saat adzan magrib berkumandang, lalu aku turun dan hujan sudah berhenti.
Bus tiba-tiba berhenti di pertigaan jalan. Bapak itu turun. Aku terheran. Sementara orang lain tak paham, aku, kernek, dan topi merah, juga kantong plastik itu pasti mulai paham situasi. Terlontar kata sesal dari mulut. "Ohh, ternyata..."
Aku sempat melihatnya tersenyum sebelum jauh berlalu dari pandangan. Roda Bus yang kembali berguling membawa sebuah pesan. Meskipun seperti ketidakadilan, namun jika engkau yakin tuhanmu maha pemberi lagi maha penyayang semua masalah tak harus disikapi dengan berkeras hati. Aku mungkin orang yang paling dinasehati, bagaimana mungkin orang lain mau membayar penuh apa yang ia beli, jika ia sendiri hanya diberi setengah dari apa yang dia beli sedangkan bapak bertopi merah tidak merasa seperti orang yang dizalimi. Ia seperti ikhlas memberi kepada kita, dari pada berburuk sangka dan memaksa. Mungkin ia berpikir 5 ribu itu cukup bermanfaat kepada orang lain dari pada menjadi beban pikirannya dan uang haram bagi penerimanya. Sang Pencipta lebih tau mana hati manusia yang ikhlas memberi. Aku berdoa untuk kelancaran rezeki dan keselamatan untuk bapak itu. Dengan peristiwa itu, perjalananku menjadi lebih berarti dan penuh makna.
Bintang mulai bercahaya, dan aku masih belum sampai tujuan. Duduk sendirian memang terasa lebih nyaman. Namun perjalanan perlu dilalui dengan berdiri dan berjalan.
-----------------------------------------------
Oleh Erdiyansyah