Daftar Isi

Sabtu, 23 Januari 2021

PELUANG AMAL ++ DAPET GRATIS DESAIN



Assalamu'alaikum semua! saya dan teman-teman saya bermaksud mengajak kalian untuk berdonasi dalam #100IlustrasiuntukIndonesia, nantinya dana yang terkumpul 100% akan kami serahkan kepada saudara kita yang terdampak bencana gempa dan banjir di Sulawesi barat dan Kalimantan selatan melalui MRI ACT Ogan Ilir.

Dengan berpartisipasi di gerakan #100IlustrasiuntukIndonesia semua teman-teman yang berdonasi akan mendapatkan satu gambar ilustrasi gratis! 

Caranya gimana? mudah bangeeet!

1. Silahkan chat via Whatsapp wa.me/6289681264092 dengan format : Ikutdonasi_Nama_No. WA

2. Berikan kontribusi terbaik kalian untuk saudara-saudara kita yang sedang membutuhkan dengan donasi ke rek :  BNI Syariah 0699517273 a.n. Dewi Taradipa 

3. Kirim bukti transfer dan foto kamu yang akan kami di gambar.

4. Tunggu ilustrator menyelesaikan hadiah untuk kamu.. 

Yeay, gampang kan.. Tunggu apa lagi! Yuk, berikan kontribusi terbaikmu dan sama-sama bantu saudara kita yang terdampak bencana di Indonesia.

“Perumpamaan kaum Mukminin dalam cinta-mencintai, sayang-menyayangi dan bahu-membahu, seperti satu tubuh. Jika salah satu anggota tubuhnya sakit, maka seluruh anggota tubuhnya yang lain ikut merasakan sakit juga, dengan tidak bisa tidur dan demam.” (HR. Bukhori No. 6011)

#ayoberdonasi #100ilustrasiuntukindonesia


Kunjungi Akun IG nya di:

- @itsme.ndah ( https://instagram.com/itsme.ndah?igshid=1iffogoaw5hfp)

- @pelangi_risty (https://instagram.com/pelangi_risty?igshid=yvnebu6zdn6q )

- @dewitaradipa_ ( https://instagram.com/dewitaradipa_?igshid=1k8fnao4wogfl)

- @msowlart_ (https://instagram.com/msowlart_?igshid=1utfff5rycw71 )

Kamis, 14 Januari 2021

Lampu Merah

Sesama pedagang asongan di kawasan Stasiun Depok Baru, di antaranya Ramlan dan Endang. Mereka tidak pernah saling cekcok perihal berlapak, malah mereka telah akur dari awal menggeluti pekerjaan itu. Dari pagi hingga malam menjelang keduanya sering terlihat bersebelahan. Mereka hanya dua orang di antara sekian banyak orang yang nasibnya sama; berjualan jajan dan keperluan kecil-kecilan orang di jalan, lampu merah demi lampu merah, trotoar demi trotoar, hanya untuk sesuap nasi keluarga dan dirinya di esok hari. Siang ini awan berlarian entah ke mata angin mana, langit begitu bersih sekaligus begitu sesak, bersih dari awan, sesak oleh polusi. Atmosfer perkotaan yang identik dengan asap kendaraan dibalut terik panasnya matahari menyengat manusia-manusia kecil. Asap dan debu jalan berterbangan, menghinggapi kulit, mengotori paru-paru, adalah resiko bagi pengguna jalan tanpa roda, para pejalan kaki, para pengasong, pengamen, dan pengemis.

Ramlan beranjak dari lapaknya, beberapa saat ia berjalan di atas trotoar dari stasiun, 

"Mau ke mana Lan, Pulang?" sahut Endang yang bersila selangkah darinya. 

"Iya," jawab Ramlan pendek. 

"Masih siang kok, pulang?" tanya Endang penasaran, padahal kurang lebih sudah begitu kebiasaan mereka, Ramlan yang memilih beranjak lebih dahulu.

"Sampai malam pun kamu di sini tidak akan ada yang mau beli, Ndang. Lebih baik kamu menemaniku pulang." Begitu pesimisnya Ramlan, entah nasehat macam apa itu. Endang yang sedang duduk di trotoar jalan Arif Rahmat Hakim itu pun termenung sejenak. Ramlan tak acuh lewat di depannya, mimik kecewa itu dibawanya dengan langkah gopoh. Endang kemudian bangkit menggendong dagangannya, berjalan cepat di atas sandal jepitnya menyusul Ramlan. 

"Tunggu, Lan!" Endang mempercepat langkahnya hampir berlari. Di perempatan jalan langkah mereka terhenti oleh lampu yang masih menyala hijau untuk kendaraan. Beberapa mobil mulai bergerak, sepeda motor melesat cepat dari area pemberhentian. Klakson beberapa kali terdengar, semua kendaraan mengejar waktu. 

"Lihat, jalanan semakin sepi, setelah pemberhentian kereta terakhir stasiun pasti segera tutup." ucap Ramlan letih.

"Kamu ngga coba ke tempat lain dulu Lan sebelum pulang?" usul Endang yang masih bersemangat, walau pakaiannya telah kalah perang, baju kaos yang tidak berlubang namun cerah birunya pudar setiap hari harus meresap keringat yang membanjir. Lap seadanya dari sisa potongan kain terbelit dileher dan topi bundar dari pasar lima ribuan mereka tawar limabelas ribu. Miris.

"Percuma, selain itu Istriku nelpon, katanya sekarang warga dilarang berkeliaran. Aku disuruh pulang." ujar Ramlan.

"Edan! Mati kelaparan kita, apa tak ada sembako untuk kita, Lan?" ujar Endang yang rautnya berubah khawatir

"Tetangga sudah dapat, Ndang. Hanya kita yang tak dianggap ada di bumi pertiwi ini sekarang." Wajah di pinggir jalan itu kecewa, dongkol tak mampu mereka ungkapkan sebersit katapun apalagi untuk berbuat. Ada pembelaan yang tertikam kondisi dan keberanian. 

"Ke pasar, Lan. Pasti ramai, mereka tak mungkin nurut anjuran. Orang akan mati seperti kita jika tak ke pasar." usul Endang tak habis pikir. 

"Orang-orang di sana adalah orang-orang keras kepala, Ndang. Aku bukan golongan mereka, Kamu tidak liat telivisi ya? Kematian sudah tinggi, mereka tetap saja tak mau taat. Hukuman seberat apapun juga tak akan mempan diterapkan untuk mereka." jawab Ramlan sok tahu. 

"Kamu benar, Lan. Justru itu kita harus tetap ke pasar sekarang. Jika kita nanti dihukum, mereka juga harus dihukum. Kita punya alasan, bukan?" jawab Endang sekenanya. Sengklek. 

"Kamu ngga mikir, Ndang? Apa ada orang yang mau mendengar alasan seperti itu dari mulutmu? Nafasmu terlalu busuk, hingga saat kamu tertangkap pertama, sebelum alasan itu keluar darimu mereka telah lebih dulu hilang dari pandangan, bersembunyi. Tak ada yang mau disalahkan, masing-masing cari aman. Jika kamu masih berkeras, cobalah saja menyebrang saat lampu berubah hijau, nasibmu tidak akan berbeda dengan mereka nanti. Sekarang kita berada di tengah kompetisi, urusanmu bukan urusan mereka, masing-masing melindungi diri mereka sendiri. Pun jika kamu tiba-tiba sekarat di jalan, mereka tak akan sudi mendekat. Engkau hanya akan mati tersiksa sendirian. Bahkan kulitmu nanti tak akan disentuh tangan, jasadmu dibungkus plastik tak disiram mandikan oleh sanak kerabat, dikubur dengan peti entah di mana. Sekarang jalan satu-satunya hidup bagi keluarga kita hanyalah berdoa, Ndang." Suara Ramlan seperti dikeluarkan dari perut, tertekan dan dimuntahkan. Mimik frustasi Ramlan telah mengecewakan optimisme Endang, firasat besar akan remuknya tulang-tulang punggung mereka menjadi-jadi, merasuk sampai keurat-urat nadi, laju darah terasa meronta, menerjang muncrat ingin keluar minggat dari tubuh. 

Semesta menelan ludahnya mendengar dan melihat bagaimana orang-orang itu hidup, wajah mereka tersapu dari jalanan bersama sampah dan debu, masuk pembuangan, juga terbang dan hilang. Lampu untuk kendaraan telah merah, kanvas rem beberapa kendaraan berdecit, hitungan mundur berwarna merah dimulai dari 50, waktu yang cukup bagi mereka untuk menyebrang namun tidak untuk melewati masa sulit. Udara masih panas dan  terik masih menyengat, bisa saja daging mereka sudah matang saat ini.

-------------------------------------

Oleh Eryn

Rabu, 13 Januari 2021

Hujan

"Kenapa malah hujan, Kas?"

Kastari memandang keluar jendela yang terbuka, awan hitam memadamkan cahaya langit. Ruang tamu semakin gelap hingga wajah-wajah keceriaan mereka pudar. Tetesan air dari langit nyaring jatuh di atap rumah, dahan dan ranting pohon bergesekan diterpa angin yang perlahan menderu. Daun-daun berkibar, yang mengering terlepas dan melayang, lalu terhempas jatuh berserakan. Desau angin yang menandakan hendak turunnya hujan ke manakah mereka? Apa jangan-jangan Kastari tengah lengah?

Hujan pun semakin lebat, tetesnya bertambah berat dan jumlahnya yang kian tak terkira mulai menciptakan genangan. Tak lama angin mendesau semakin kencang, gemuruh memalingkan Kastari dari lawan bicaranya. Suara percakapan mereka bagai ditikam di ruang tamu, tersangkanya tak lain adalah air yang tak henti menumbukkan diri pada atap rumah seng tua karatan itu. Senda gurau mereka seolah hanyut kala genangan di luar mengalir deras mencari muara.

"Berdoalah cepat reda, sehingga saya bisa cepat pulang, Kas".

Hujan memukul rata suhu di ruang tamunya, menjelma sosok dingin yang tiada dua. Ruang tamu masih suram, hingga ketika mata mereka terperangah oleh reaksi proton di langit mengakibatkan seisi ruang bak diterangi lampu pijar stadion sepakbola, selang beberapa detik saja rembetan suara ledakkannya sampai ke daun jendela dan telinga. Setelah hening mereka bersitatap dan masing-masing tersenyum di ujung bibir. Tamu selanjutnya adalah embun yang jatuh di kantung mata mereka berdua.

"Tidak, melainkan aku akan berdo'a untuk keberkahannya." jawab Kastari lalu melempar senyum tulus.

-----------------------------------------------

Oleh Eryn

Rabu, 06 Januari 2021

Puisi PADAMU

PADAMU

(Oleh Dilla Nursyafitri)


Padamu aku teringat biru. Ruang percakapan yang perlahan berdebu, kenangan lama yang meninggalkan rasa kelabu, rintik hujan membawa sendu, secangkir teh hangat membawa pilu, dan lagu lama yang mengingatkan padamu.

Padamu aku teringat merah. Rasa ego yang memupuk amarah, bagaimana caraku membenarkan kerah bajumu, senja di sore hari yang merekah, pergelangan tangan penuh darah, dan cintaku yang tak pernah menyerah.

Padamu aku teringat hitam. Bersama bulan meninggalkan kelam, obrolan singkat tengah malam, menyelam mencari perasaan yang tenggelam, berlarian bersama gelap di heningnya diam, sendirian berlingkupi perasaan yang terpendam.

Padamu aku teringat coklat. Perihal hubungan yang telah tamat, hari-hari yang berlalu dengan begitu cepat, mata yang berlukiskan rasa tersesat, relung hati yang terasa sakit, dan jarak antara kita yang tidak dekat.

Padamu aku belajar melihat dunia dalam berbagai warna.

Padamu aku ingat kamu.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Puisi lainya dapat baca di https://dillanursyafitri.blogspot.com

Minggu, 03 Januari 2021

RESENSI BUKU MUARANYA MANUSIA OLEH GARYN FATTAHILLAH

Peresensi: Garyn

Muaranya Manusia


Judul buku   : Rantau 1 Muara

Penulis         : Ahmad Fuadi           

Penerbit       : PT. Gramedia Jakarta

Cetakan I     : Mei 2013

Tebal            : 399 halaman

Harga            : Rp. 75.000.00,-

Pada hakikatnya manusia itu pasti akan kembali ke Sang Pencipta. Kita hidup di dunia untuk mencari ilmu dan amalan agar tidak tersesat didunia dan bisa kembali ke tempat asal kita di surga. Hidup ini bagaikan perantauan, orang yang pandai tidak akan diam di tanahnya sendiri, dia akan selalu berusaha untuk mencari cara merantau ke tanah orang untuk mendapat ilmu dan pengalaman baru. Setelah lama merantau dengan mendapat ilmu dan pengalaman seseorang harus pulang ke “rumah” agar hal-hal yang dia dapat bisa bermanfaat bagi orang lain, karena orang yang paling berharga itu yang bermanfaat bagi orang lain.

Perantauan seperti itulah yang diceritakan dalam novel trilogi Negeri 5 Menara yang ketiga, yaitu “Rantau 1 Muara”. Cerita yang berdasarkan perjalanan hidup penulis, Ahmad Fuadi lahir di Bayur, kampung kecil di pinggir Danau Maninjau tahun 1972. Beberapa novel yang pernah Dia tulis adalah Negeri 5 Menara, Ranah 3 Warna, dan Rantau 1 Muara. Karena karya-karya yang ditulisnya, bang Fuadi dianugerahi  Liputan 6 Award, SCTV untuk kategori Motivasi dan Pendidikan. Penulis terbaik IKAPI dan juara 1 karya tulis Fiksi terbaik Perpnas. Tahun 2012 lalu Dia terpilih sebagai resident of Bellagio Center, Italia dan tahun 2013 mendapat penghargaan dari DJKHI Kemenkumham untuk kategori Karya Cipta Novel.

Dibandingkan dengan novel-novel sebelumnya yang Dia tulis, Rantau 1 Muara memiliki harga yang lebih mahal, sampulnya lebih sederhana, dan merupakan yang paling tipis tetapi judulnya sangat menarik. Kesan awal melihat buku sama persis dengan dugaan, sangat menarik, tidak membosankan untuk dibaca, dan penuh dengan bahasa-bahasa asing. Ketiga buku trilogi Negeri 5 Menara, termasuk Rantau 1 Muara diterbitkan oleh PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Novel Rantau 1 Muara menceritakan kelanjutan kisah perjalanan hidup Alif Fikri setelah tamat dari Pondok Madani, Alif melanjutkan pendidikannya disalah satu perguruan tinggi di Bandung. Karena hobi menulis Alif ikut menjadi penulis majalah kampus, dia pun ikut dalam demonstrasi penurunan jabatan Pak Soeharto. Setamat kuliah cobaan demi cobaan silih berganti menerpa Alif bagaikan angin yang berhembus tiada henti, meski Alif diwisuda dengan nilai terbaik namun Dia lulus pada akhir 90-an, ketika Indonesia dicekik krisis ekonomi. Secercah harapan muncul setelah Dia diterima menjadi Wartawan Derap di Jakarta, disana hatinya tertambat pada seorang gadis yang pernah dia curigai. Takdir menerbangkan Alif ke Washington DC. Life is Perfect. Sampai terjadi peristiwa 9/11 di New York yang menggoyahkan jiwanya. Dia kehilangan orang terdekatnya dan juga misi hidupnya. Dari mana dia bermula dan kemana dia akhirnya akan bermuara?

Halaman buku lebih sedikit dengan 46 bab, sketsa gambar pada sampul lebih sederhana, bahasa yang digunakan lugas dan mudah dipahami dengan tambahan sedikit bahasa asing. Masing-masing tokoh seperti novel sebelumya digambarkan secara detail dan merinci begitu pula dengan suasana ceritanya. Tapi harga novel ini yang termahal dari trilogi sebelumnya, yaitu Rp. 75.00000,-. Alur ceritnya maju, dari pulangnya Alif Fikri ke Indonesia tepatnya di Bandung tempat Dia mengontrak, setelah 2 tahunmenjadi siswa pertukarn pelajar di Kanada. Belum sampai 5 menit Alif masuk ke kamar 2 ujian telah menghampirinya, membyar uang kos dan mendaftar ulang kuliah. Stelah bercerita kepada Bang Togar, Alif diberitahu bahwa banyak tulisan yang dimuat di berbagai media. Untuk saat ini masalah uang selesai dan Alif bisa mengirimi uang ke Amak dan adik-adiknya di Maninjau.

Di Bandung Alif Kuliah jurusan Hubungan Internasional dan diwisuda dengan nilai terbaik tapi Dia lulus pada saat yang salah, akhir 90-an Indonesia sedang dicekik krisis ekonomi, banyak kerusuhan saat Pak Soeharto akan lengser. Sampai Alif harus meminjam uang dari ATM karena media massa hanya menerima sedikit tulisannya, uang untuk Amak berkurang, debt collector datang menagih hutang, bagaimana dia mengatasinya? Secercah harapan muncul ketika Alif diterima menjadi wartawan di Ibu Kota, disana hatinya tertambat pada seorang gadis yang pernah dia curigai. Takdir menerbangkannya ke Washington DC. Sebagai mahasiswa S-2 Disana cobaan lebih berat dari pada di Indonesia, mereka datang silih berganti, satu tuntas dua lagi muncul. Setamat kuliah Alif menjadi wartawan disana, hidupnya menjadi lebih baik dan bahagia. Sampai kejadian 9/11 di New York, Dia kehilangan orang terdekatnya yang sudah seperti kakak kandungnya sendiri. Alif merenung, memikirkan kembali misi hidupnya, apakah Dia harus pulang dengan hasil kecil atau menetap untuk hasil yang lebih baik. Seperti kesempatan menjadi wartawan di London, Inggris. Banyak waktu Dia habiskan untuk berpikir, sampai akhirnya tekat Alif bulat untuk pulang ke Indonesia dengan hasil kecil. Meski begitu Alif selalu bersykur karena imiannya saat di Pondok Madani dulu terwujud, “merantau ke Amerika”.  Karena syukurnya tersebut, Allah menambah nikmat kepada Alif. Sebelum ke bandara Dia berpamitan dengan rekan-rekan kerja di kantor, atasan Alif memanggilnya ke kantor, disana Dia diberitahu bahwa ada lowongan kerja untuk nya di Jakarta dengan hasil Amerika(hasil bagus). “Alhamdulillah, kerja di Indonesia gaji Amerika, apa lagi yang kurang?”

Bahasa yang dingunakan penulis lugas dan mudah dipahami dengan campuran bahasa Arab, Inggris, dan Indonesia, Seolah kita benar-benar ikut masuk kedalam cerita. Setiap tokoh, latar, dan suasana dijelaskan secara merinci. Novel ini cocok untuk para pemuda karena dapat membangkitkan semangat untuk terus berkarya dan mencari tujuan hidup.

Ada pepatah mengatakan, “jika kau bukan anak raja dan bukan anak ulama besar, maka menulislah.” Alif bukan anak orang kaya, bukan anak orang berkuasa, dan bukan pula anak orang terpandang, tapi dengan tulisan-tulisan dan doa dari orang terdekatnya Alif bisa mewujudkan mimpinya itu. Carilah ilmu setinggi langit dan sedalam lautan kemudian pulanglah kamu bila saatnya tiba.


Sumber: https://garyn99.blogspot.com/2015/11/resensi-novel-rantau-1-muara.html#more

Posting Unggulan

Tak Renta

Menghabiskan sisa umur yang tak lagi muda bukan gampang. Meski seluk beluk kehidupan dengan berbagai macam cobaannya telah banyak dilalui. T...