Daftar Isi

Sabtu, 08 Juni 2019

Kisah Kasih

Kekasih adalah sesuatu yang benar-benar disayang. Walaupun hilang, rasa kasih tak akan terhapus dari ingatan. Mereka yang disayang akan selalu hadir disetiap peninggalannya. Dirinya sejak lama berusaha membiasakan diri terhadap situasi dimana sebenarnya dia tidak lagi benar-benar sedang bersama kasihnya. Sebuah ilusi kadang akan sampai terlihat seperti asli didepan mata, meski kenyataanya hanyalah sebuah pandangan kosong terimajinasi didalam otak yang menimbulkan effek seperti benar-benar terjadi. Sepeninggal almarhumah istrinya, sudah sering ia melihat kejadian aneh didekatnya. Kadang didalam rumah, didapur tempat biasa istrinya menanak nasi. Kadang dikebun, tempat dia dan istrinya biasa bekerja. Pernah juga ia merasa sedang berduaan diatas sepeda, berboncengan. 

Entah dari suku apa ia, dari mana asalnya, dulu ia tidak pernah mempertimbangkannya pada sosok istri yang menemaninya selama ini. Baginya kesetiaan, ketulusan, kesabaran dan kesederhanaan sudah cukup untuk menjadikan kondisi rumah tangga harmonis. Kastari hanya mengucapkan janji kesetiaan sampai akhir hayat, sehingga anak kepala dusun itu akhirnya mau dan menerima pinangannya. Kastari hanya pernah sekali bertemu dan sekali memanggil nama istrinya sebelum mereka berdua dinyatakan resmi menjadi suami istri. Tak ada istilah pacaran, setangkai bunga, sepucuk surat, atau lainnya. Kondisi perekonomian keluarganya kala itu pas-pasan, dengan hanya mengandalkan pekerjaan sebagai buruh tani memaksa dirinya juga ikut bekerja keras menjadi tukang cari rumput untuk pakan ternak. Ibunya meninggal karena sakit-sakitan saat ia masih duduk di bangku SMP kelas 3. Ia ingat betul saat itu adalah hari kelulusannya. Namun kehendak Tuhan tak dapat dihindari, padahal ia ingin sekali mempersembahkan nilai ujian terbaiknya itu. Kastari peringkat 1 se-SMP. Setelah itu dia tidak melanjutkan sekolah sampai usianya dua puluhan tahun. Ayahnya ikut menyusul menghadap Ilahi ketika ia sedang dengan pekerjaannya. Bapak satu anak itu jatuh pingsan, sempat dilarikan ke puskesmas namun nyawanya juga tak dapat diselamatkan. Semenjak itu ia menjadi sebatang kara dirumah. Keseharianya dihabiskan untuk bekerja, menghidupi diri sendiri. Oleh karena bosan, akhirnya ia memutuskan mencari pendamping hidup agar ada seseorang yang bisa ia nafkahi.

Pukul tiga setengah. Dari posisi duduknya ia bangkit, lalu berjalan terhuyun-huyun ke penampungan air dibelakang rumahnya. Menciduk air dengan baskom, kemudian menyela-nyela jari-jemarinya dengan air, membasuh mukanya, tangan, rambut kepala, telingga serta kakinya. Lalu ia masuk lagi kebagian sudut rumah bersujud meminta rahmat dan petunjuk, meminta hujan, meminta kemudahan mencari makan, meminta cangkul baru, meminta kopi dan gula, meminta dimudahkan harinya, memohonkan ampun diri sendiri, orang tua, istri, sanak saudara, teman, kerabat dekat dan semua orang. Dan dimalam bulan terlalu terang hingga bintang kalah sinarnya. Penampakan bulan bulat sempurna pagi itu. Setelah lama kemudian ia bangkit dari sujud, duduk bersila.

Sinar mentari masuk melalui celah-celah genteng, lubang-lubang bilik kayu dinding rumahnya, lurus melewati kepul asap yang kian memperjelas wujud cahaya di ruang pawon kala pagi, dan di ruang tamu dikala siang. Asap memang membuat mata pedih, dulu sampai tak terasa satu meter dari tungku. Justru menjadi lokasi mencari kehangatan dikala suhu udara dingin membeku. Semangat api, terkubur waktu, kehangatan sirna. Ia bangun, mengasah sabitnya didekat bak tampungan air. Mempersiapkan perkakas kerjanya. Kastari adalah buruh tani, kadang disawah, kadang mencari rumput, kadang memotong kayu, kadang menyadap karet, semua bisa dilakukannya. Pernah sesekali ia jadi seperti pengangguran. Yang digarap adalah tanah milik tetangganya, yang dicarikan rumput adalah ternak tetangganya juga. Kastari memotong pohon-pohon tumbang dari hutan. Tanah miliknya hanya tanah dibawah rumahnya, tak lebih dari sepuluh meter persegi. 

Pagi ini kastari berangkat bekerja. Dia berangkat ke ladang membawa serta perlengkapannya untuk mencari semak liar pakan kambing pak Supri. Kemarin pak Supri datang kerumahnya meminta dicarikan rumput untuk kambingnya. Pak supri biasa menyuruh kastari dihari-hari tertentu seperti jika sedang ada acara atau hari raya. Namun jika tidak, pak supri mencarinya sendiri dengan sepeda motornya. Ekonomi pak Supri memang jauh lebih mapan, namun ia tak sombong. Sedangkan kastari biasa membawa pulang rumput diatas sepedanya. Sepedanya sudah tua umurnya, namun tetap tangguh dimedan lumpur bebatuan membawa rumput sekandi penuh. Pak supri minta 2 kandi, itu artinya ia perlu 2 kali pulang pergi. Sebenarnya estimasi waktu yang ia perkirakan adalah 2 jam pulang pergi dengan waktu istirahat 15 menit. Hanya saja itu akan tercapai jika rumput liar melimpah seperti dulu. Sekarang banyak pembangunan ditanah-tanah kosong, pembukaan lahan untuk perkebunan, oleh karena itu rumput menjadi barang mahal dan banyak dicari keberadaanya. Barang langka seperti rumput dibeberapa area sudah ada pemiliknya, ditandai dengan tongkat berbendera plastik. Peraturanya adalah siapa yang memasang tongkat dialah pemilik rumput lima meter persegi di sekeliling tongkat itu. Kenyataanya kadang berbeda, tangan nakal kerap mencuri-curi kesempatan membabat habis rumput yang ditandai orang lain. Jika tidak seperti itu maka mereka harus mencari rumput sampai ketempat yang sangat jauh. Itulah yang biasa dilakukan Kastari, ia rela berkorban tenaga dan waktunya ketimbang memakan uang haram. 

Ia lewat jalan terjal di samping rumahnya. Jalan tanah satu-satunya yang bisa dilewati untuk pulang pergi dari rumah ke pusat peradaban. Hanya rumahnya dan 1 rumah disebelah miliknyalah penghuni tanah di atas tebing yang ada sungai disebelahnya ini. Sembari memegang sepeda ia menuntunnya naik ke puncak jalan. Kemiringan dan ketinggiannya cukup membuat hilang ingatan, was was, menarik nafas dalam, letih sedang dan sedikit keringat dingin. Sungguh perjuangan badan seperti membudak diri ketika harus naik, namun pejuangan bukan tidak diperlukan disaat turun dan semaunya tinggal meluncur dijalan ini. Seseorang yang tidak pernah merasakan medan ini sudah cukup akan membuatnya lepas dari jalan, terbang lurus, dan jatuh bebas sampai ke dasar sungai. Pagi ini Kastari sengaja berangkat pagi mendahului singsing mentari pagi. Bahkan kabut belum sempat hilang. Mengembun didedaunan, jaring laba-laba, kulit wajahnya, batang besi sepedanya yang juga ikut basah terpapar embun pagi. Tetes embun kian menebal menjadi butiran-butiran air yang membasahi setiap jengkal kehidupan di kampung. Kadang kabut tebal dipagi hari juga pertanda turun hujan dimalam hari itu juga. Namun kabut juga memberi isyarat bahwa terik mentari akan sangat menyengat kulit disiangnya, awan akan sebening gelas, langit akan sebiru laut, sisa-sisa awan mungkin hanya akan terlihat pojok bumi saja, dan panasnya membakar, haus kering kerongkongan. Kastari berpakaian lengkap dengan basahanya, kerudung, topi, dan sarung tangan sebagai pelengkapnya. Untunglah, suasana bekas hujan semalam membekas dijalan. Licin, berkubang air dan sejuk. Sekian menit setelanya ia sudah berhasil melewati jalan terjal ini. Tergopoh-gopoh, dadanya naik turun, mata berkunang, sempat sedikit hilang keseimbangan. Sepedanya memang membantu sekali dikeadaan seperti ini, rasanya ia sudah akan jatuh terkapar jika tidak sambil bersandar dan bergantung tangan di sepeda. Di samping kanan kubangan air sekarang ia berdiri memegang kendali sepedanya. 

Kubangan air itu bekas hujan semalam. Ia lewati pinggirnya agar kubangan itu tak bertambah dalam dan ban sepedanya tidak menjejak bekas. Ia takut orang lain tau saat melihat jejak bekas ban sepeda yang berlumpur dijalan dan beranggapan bahwa "si kastari" orang yang tak peduli kebersihan, ia orang yang tak berpikir panjang, dan lugu. Oleh karenanya, ia tuntunkan sepedanya memutari kubangan kecil itu sebelum akhirnya sampai di tepi jalan aspal. Meski begitu tak ada salahnya melakukan hal yang berbeda dari pada melakukan hal yang biasa dilakukan. Kadang orang memang hanya melakukan sesuatu hanya karena kebiasaan, atau sekedar meniru gaya orang lain tanpa memikirkan untuk melakukan hal yang berbeda dan memikirkan kenapa kebiasaan itu mesti dilakukan padahal sesuatu yang berbeda itu bisa saja memberikan lebih. Jalan orang-orang yang benar adalah jalan yang dilakukan sesuai perintah Tuhan, bukan jalan sesuai kebiasaan nenek moyang. Kastari meyakini itu, dan ia meminta petunjuk dari Tuhanya. Namun jalan aspal didepannya lebih tinggi beberapa senti saja, petunjuknya adalah sebuah nasehat keselamatan kepada manusia agar berhati-hati, setidaknya kondisi ini sedikit menghambat roda mengelinding. Sehingga ia harus tetap mengangkat roda depan keatas jalan agar sepedanya tetap bisa didorong. Namun cara ini beresiko tinggi mengakibatkan kecelakaan dijalan. Jika momenya kurang tepat, bisa jadi kendaraan yang melintas tidak lagi peduli dengan moncong sepeda ditepi jalan dan melindasnya. Kastari beri sedikit gaya bagian depan sepedanya agar bisa naik di jalan aspal. Sepintas terlihat ban sepeda yang nampak tipis dan halus dimakan jalan, lumpur basah masih melekat dan meninggalkan jejak dijalan. Kastari biasa membawa sepedanya kesebrang jalan sebelum dinaiki. Namun karena nampak sepi ia coba menaikinya langsung setelah semua rodanya sudah naik ke badan jalan. Ia terlena menghadapi situasi nyaman berada dijalan yang tidak berlumpur ini. Sepeda akan dapat tegak berdiri, rodanya sejajar tinggi, kontrol penuh terhadap sepeda yang biasanya tangan harus kuat mencengkram, kaki kuat mengayuh dan sesekali turun menyeimbangi rasanya tidak perlu lagi. 

Kastari berpesan kepada bumi, embun pagi, kepada sosok yang dirindukan, kepada udara dingin yang menyelimuti, kepada malaikat pemberi rahmat, serta kepada segenap peninggalan. Jika ia tak kembali, harapannya ada yang tahu ke arah mana kastari pergi terakhir dilihat. Mungkin tinggal jasad atau hanya sekedar jejak kaki. Sekiranya hanya menjadi cerita misteri, kastari harap itu cerita yang memberi banyak nasehat, nama baik dan penyemangat ditelingga mereka. Lalu pagi itu ia usahakan dengan niat hati tulus bekerja lebih untuk membantu orang lain, agar kehidupan dapat berlanjut dan waktu dapat terus berjalan. Agar kambing pak supri mendapat asupan gizi, agar pak Supri bisa menghidupi keluarga, agar apa yang dilihat mata menjadi benar apa yang dirasakan, senyuman, rasa iba, dan uang pemberian itu menjadi halal dimakan. 
Dirinya hanya perlu merasakan, dan melupakan keselamatan. Keraguan yang biasa muncul sebagai penolong tidak hadir dipikiran, Kastari lebih memilih membuka lebar rasa percaya diri. Hampir saja ia dapat merasakan kebahagiaan, namun tiba sesaat itu juga suara klakson menyambar keras kedalam telinga. "Tinnnnnnnn..." Tubuhnya sangat cepat bergerak merespons, namun gerak motor lebih cepat. Dalam sekejap Ia bergerak menghindar, namun ia sadar bahwa tak sempat waktu dan tak cukup tenaga. Ia hampir tak punya pilihan, sedangkan rasa penasaran akan mati mungkin akan benar bisa dirasakan. Terpelanting, patah tulang, kulit terkelupas, perih, darah mengalir, sesak nafas, kejang, mungkin tak sadar diri, atau hanya sekedar lupa ingatan jika beruntung. Sekejap saat itu terasa panjang? Atau proses berpikir kastari saja yang kali ini lebih kencang terpacu keadaan? Hampir saja ia pasrah namun tiba-tiba, suara memanggil.

“Kas…!, kastari!” 

Suara semakin jelas ditelingganya. “Bangun, Kas…”. Sesosok mahluk dipandangannya terlihat kabur memanggil-manggil namanya. Lama kelamaan makin jelas wujudnya dan jelas itu bukan malakiat maut yang ingin menjemputnya. Seorang manusia.

“Supri...?” sahut Kastari tak percaya.

Di hari berikutnya, Kastari hanya bisa terbaring dirumah sakit. Nampaknya kejadian kemarin membuatnya benar-benar merasa aneh. Kepalanya pusing, perutnya mual, tubuhnya lemas, sementara selang infus tertancap di lenganya, orang-orang silih berganti keluar-masuk menjenguk Kastari. Pertanyaan yang sama dijawab dengan jawaban yang sama; Kastari kenapa? Kastari ditemukan terbaring dipinggir jalan masih lengkap dengan kopiah dan sarungnya pukul tujuh pagi, mengigau berteriak memanggil nama istrinya. Pak Supri yang kebetulan lewat jalan itu mendengar teriakan berusaha mencari sumber suaranya. 

Kisah Kastari masih ramai diperbincangkan sampai berbulan-bulan kemudian. Diceritakan dengan nalar, prasangka, suasana hati, kondisi, dan sebatas yang pencerita dengar dari cerita yang diceritakan, sedikit dibumbui, dibawakan serius. Sementara Kastari menganggapnya sebagai kasih Tuhanya, yang lain anggapnya sepele, guyonan seru, dan bermacam versi lainnya. 

-----------------------------------------------

Oleh Erdiyanysah

Tidak ada komentar:

Posting Unggulan

Tak Renta

Menghabiskan sisa umur yang tak lagi muda bukan gampang. Meski seluk beluk kehidupan dengan berbagai macam cobaannya telah banyak dilalui. T...